18 Agustus 2019
JALUR PENDAKIAN KLASIK GUNUNG LAWU VIA SINGOLANGU
Gunung Lawu merupakan salah satu dari jajaran gunung tertinggi yang berada di Pulau Jawa. Gunung yang memiliki ketinggian 3265 mdpl ini menjadi salah satu gunung favorit untuk ditaklukkan oleh para pendaki. Hal ini disebabkan oleh jalur dan medan pendakian yang cukup menantang, sehingga tidak sembarang orang yang bisa mencapai puncak tertinggi gunung ini. selain itu gunung ini terkenal dengan nuansa Prabu Brawijayanya yang sangat kental. Sehingga tidak mengherankan jika di waktu tertentu, seperti pada tanggal 1 Suro, gunung ini akan ramai dikunjungi oleh orang-orang.
Terdapat tiga jalur pendakian Gunung Lawu yang sudah familiar dikenal oleh para pendaki. Jalur pendakian tersebut adalah pendakian Gunung Lawu via Cemoro Kandang, via Cemoro Sewu, dan via Candi Cetho. Ketiga jalur tersebut memiliki keunikan medan dan jalur pendakiannya tersendiri. Jalur pendakian Gunung Lawu via Cemoro Kandang dikenal lebih ramah bagi para pendaki. Hal ini disebabkan oleh jalur dan medan pendakian yang tidak terlalu curam dibanding jalur pendakian lain, seperti via Cemoro Sewu dan Candi Cetho.
Meskipun ketiga jalur pendakian tersebut sudah dikenal secara umum oleh kalangan awam para pendaki yang ingin mendaki Gunung Lawu, sebenarnya terdapat satu jalur pendakian lain yang memiliki keunikannya tersendiri. Jalur pendakian tersebut adalah Jalur Pendakian Klasik Gunung Lawu via Singolangu. Jalur pendakian ini berada di Singolangu, Kelurahan Sarangan, Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur, atau lebih kurang 3 km dari Telaga Sarangan. Sesuai dengan namanya, jalur pendakian ini diyakini sebagai jalur pendakian tertua diantara semua jalur pendakian Gunung Lawu. Selain itu, jalur ini juga diyakini sebagai napak tilas Prabu Brawijaya V saat pergi ke Gunung Lawu untuk menghindari kejaran pasukan Raden Fatah. Di sepanjang jalur pendakian ini nantinya para pendaki akan menemukan beberapa situs yang diyakini sebagai petilasan Prabu Brawijaya V.
Menurut pengakuan beberapa sesepuh yang ada di Singolangu, jalur pendakian ini memang sudah ada sejak lama dan tidak diketahui secara pasti kapan pertama kali jalur pendakian tersebut muncul. Akan tetapi dulunya jalur ini tidak digunakan sebagai jalur pendakian seperti pada umumnya. Pada saat itu orang-orang menggunakan jalur ini untuk kepentingan spiritual. Kemudian sekitar tahun 1980-an, jalur pendakian ini sempat vakum. Hal ini disebabkan karena belum adanya pengelola jalur pendakian terebut. Selain itu, pada saat itu sempat terjadi peristiwa yakni hilangnya 16 orang pendaki yang memulai pendakian di sekitar wilayah tersebut. Para pendaki tersebut berhasil ditemukan, akan tetapi hanya satu orang yang selamat dari tragedi tersebut. Para pendaki tersebut kemungkinan terkena hipotermia saat melakukan pendakian sehingga tidak bisa terselamatkan. Daerah tempat ditemukannya para pendaki tersebut dikenal sebagai Telogo Batok. Vakumnya jalur pendakian tersebut berdampak pada kondisi jalur yang menjadi tidak terawat dan tidak pernah dilalui lagi oleh para pendaki yang ingin mendaki Gunung Lawu.
Setelah puluhan tahun jalur pendakian ini tidak aktif, kemudian pada akhir tahun 2018, pemuda Singolangu yang berada di bawah naungan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), yakni “Sanggar Margo Lawu” berinisiatif kembali membuka jaur pendakian tersebut. Terhitung sejak akhir tahun 2018 kelompok ini mulai membuka dan mengaktifkan kembali jalur pendakian Gunung Lawu via Singolangu.
Pada tanggal 4-5 Mei 2019, diadakan pendakian masal Gunung Lawu via Singolangu yang sekaligus menjadi tanda awal dibukanya kembali jalur pendakian ini. Pendakian ini diikuti oleh 521 peserta. Banyaknya minat pendaki yang mengikuti pendakian masal ini membuktikan bahwa jalur pendakian tersebut memiliki daya tarik dan keunikannya tersendiri. Para pendaki berpendapat bahwa keunikan jalur pendakian Gunung Lawu via Singolangu terletak pada keindahan alamnya yang masih asri dan alami. Terdapat banyak spesies tumbuhan yang bisa ditemukan sepanjang jalur pendakian tersebut. Selain banyaknya spesies tumbuhan, para pendaki juga akan menemukan banyak satwa yang jarang ditemukan di tempat lain. Salah satunya ialah Lutung. Akan tetapi, secara keseluruhan hal yang paling menarik dari jalur pendakian ini adalah medan jalur yang dianggap komplit dan tidak bisa ditemukan di jalur pendakian lainnya.
Base Camp jalur pendakian Gunung Lawu via Singolangu berada di ketinggian 1.314 mdpl. Jika diibaratkan sebagai sebuah rumah, jalur pendakian Gunung Lawu via Singolangu diyakini sebagai pintu depan untuk masuk ke Gunung Lawu. Pendakian Gunung Lawu via Singlangu bisa ditempuh kurang lebih dalam waktu 8 jam. Di jalur pendakian ini terdapat banyak titik area camp bagi para pendaki yang ingin mendirikan tenda dan beristirahat. Terdapat 5 pos di jalur pendakian ini mulai dari gerbang pendakian hingga puncak Hargo Dumilah. Diantara pos-pos inilah nantinya para pendaki akan menemukan beberapa situs yang diyakini sebagai petilasan Prabu Brawijaya V.
Berikut penjelasan lebih rinci tentang jalur pendakian Gunung Lawu via Singolangu:
Base Camp dan Gerbang Pendakian
Base Camp dan Gerbang Pendakian Jalur Pendakian Klasik Gunung Lawu via Singolangu berada di ketinggian 1.314 mdpl. Para pendaki bisa terlebih dahulu melakukan registrasi dan membaca panduan, peta jalur pendakian, serta peraturan yang dipatuhi selama mendaki lewat jalur ini. Selain itu, di sekitaran Base Camp terdapat area yang cukup luas, sehingga cocok untuk keluarga maupun orang-orang yang ingin berlibur dan camping di Singolangu.
Sendang Sanggar
Sendang Sanggar merupakan salah satu sumber mata air yang berada di Singolangu, Kelurahan Sarangan, Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Sendang Sanggar berada tidak jauh dari gerbang pendakian. Mata air ini selalu mengalir setiap musimnya dan tidak pernah kering. Sendang Sanggar menjadi salah satu penopang kehidupan masyarakat Singolangu karena kualitas air yang bagus dan bisa dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan.
Sendang Sanggar sudah ada sejak daerah Singolangu belum didiami oleh banyak orang seperti pada saat ini. Menurut cerita yang ada, mata air ini muncul karena ada seorang santri dari sebuah pondok pesantren di wilayah Jombang yang melakukan perjalanan dan singgah di daerah tersebut. Pada saat berada di daerah ini, sang santri ingin melaksanakan sembahyang, akan tetapi santri tersebut tidak menemukan sumber mata air untuk bersuci dan membersihkan diri. Oleh karena itu santri tersebut berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan meminta adanya sumber mata air yang bisa digunakan untuk bersuci. Doa tersebut dikabulkan dan muncullah mata air di wilayah tersebut yang kemudian dinamai sebagai Sendang Sanggar seperti yang dikenal pada saat ini.
Versi lain mengatakan bahwa yang berkunjung ke wilayah tersebut bukanlah seorang santri, akan tetapi seorang sunan. Akan tetapi alur cerita kemunculan mata air ini tetaplah sama, yakni permintaan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk memunculkan sumber mata air yang bisa digunakan untuk keperluan sembahyang. Pada saat ini apabila kita berkunjung ke Sendang Sanggar, maka para pendaki akan menemukan sebuah batu yang berada di dekat mata air tersebut. Batu inilah yang digunakan sebagai tempat sembahyang orang yang pada awalnya berkunjung ke daerah tesebut.
Camping Ground Kiteran
Camping Ground Kiteran berada setelah para pendaki menempuh perjalanan lebih kurang 15 menit dari gerbang pendakian. Camping Ground ini terhampar luas di tengah hutan pinus dan ladang milik warga. Dari Camping Ground ini para pendaki akan disuguhi pemandangan Lingkungan Singolangu dan beberapa daerah disekitarnya. Jika beruntung para pendaki juga bisa melihat pemandangan matahari terbenam yang sangat bagus dari tempat tersebut.
Pemberian nama Kiteran sebagai nama camping ground ini bukanlah tanpa sebab. Pemberian nama Kiteran disebabkan karena dari tempat inilah diyakini sebagai awal mula pengejaran Prabu Brawijaya V dengan pasukan Raden Fatah, yang nantinya terus menyusuri sepanjang jalur pendakian ini.
Pos 1 (Kerun-Kerun)
Pos 1 Kerun-Kerun berada setelah para pendaki menempuh perjalanan lebih kurang 40 menit dari gerbang pendakian. Jalur yang dilalui oleh para pendaki hingga pos ini masih terhitung landai dan hanya terdapat beberapa tanjakan yang menguras tenaga. Di sekitar pos ini para pendaki bisa mendirikan tenda karena terdapat area camp yang cukup memadai untuk menampung beberapa tenda.
Pos ini dinamakan Kerun-Kerun berdasarkan arti kata tersebut, yakni gapura. Hal ini disebabkan karena dulunya di daerah ini terdapat gapura yang menjadi awal masuk Prabu Brawijaya V ke Gunung Lawu. Gapura ini sangat megah dan berlapiskan emas. Pada saat ini, gapura tersebut tidak bisa dilihat secara kasat mata dan hanya orang-orang tertentu saja, seperti ahli metafisika, yang bisa melihat secara langsung gapura tersebut.
Watu Lapak
Watu Lapak berada beberapa meter sebelum sampai ke Pos 2. Watu lapak merupakan sebuah batu yang berbentuk seperti pelana kuda. Menurut cerita yang ada, batu tersebut merupakan pelana kuda Prabu Brawijaya V yang tertinggal pada saat beristirahat di daerah tersebut.
Prabu Brawijaya V yang pada saat itu sedang dikejar oleh pasukan Raden Fatah memutuskan untuk beristirahat terlebih dahulu di daerah tersebut. Prabu Brawijaya V kemudian melepaskan pelana kudanya. Setelah dirasa cukup untuk beristirahat, Prabu Brawijaya V kembali melanjutkan perjalannya. Akan tetapi, pelana kuda yang tadinya dilepas tidak dipasang kembali dan tertinggal di daerah tersebut. Oleh karena itu, pelana kuda yang sudah menjadi batu tersebut dinamakan sebagai Watu Lapak.
Pos 2 (Banyu Urip)
Pos 2 Banyu Urip berada tidak jauh dari Watu Lapak, atau lebih kurang 1 jam 30 menit perjalanan dari Pos 1 Kerun-Kerun. Para pendaki bisa mendirikan tenda untuk beristirahat di pos ini, karena terdapat daerah yang cukup luas dan landai di sekitaran pos tersebut yang bisa menampung beberapa tenda. Selain itu di Pos 2 pada pendaki bisa mengisi kembali pasokan air minum karena kira-kira 300 meter dari pos ini terdapat sumber mata air, yakni Sendang Banyu Urip.
Sendang Banyu Urip juga memiliki ceritanya tersendiri. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Prabu Brawijaya V memutuskan untuk beristirahat di sekitar daerah tersebut. pada saat itu Prabu Brawijaya V dalam kondisi kehabisan makanan dan air. Kemudian dirinya mencari sumber mata air dan menemukannya tak jauh dari daerah tersebut. Sumber mata air itulah yang dinamakan sebagai Sendang Banyu Urip karena berkat sumber mata air tersebut kebutuhan Prabu Brawijaya V bisa terpenuhi.
Cemoro Lawang
Setelah menempuh perjalanan lebih kurang 30 menit dari Pos 2 Banyu Urip, para pendaki akan melewati sebuah pohon cemara besar yang sudah tumbang dan memiliki ruang di tengah-tengah batangnya. Pohon cemara tersebut dikenal sebagai Cemoro Lawang. Konon dulunya Prabu Brawijaya V di tempat tersebut bersama patih dan pasukannya menyusun strategi untuk menghindari kejaran pasukan Raden Fatah. Oleh karena itu, Cemoro Lawang diumpamakan sebagai balai desa karena disana merupakan tempat berkumpulnya Prabu Brawijaya V bersama pasukannya untuk menyusun strategi lebih lanjut.
Pos 3 (Cemaran)
Pos 3 Cemaran berada setelah para pendaki menempuh perjalanan lebih kurang 1 jam 45 menit dari Pos 2 Banyu Urip. Jalur pendakian dari Pos 2 ke Pos 3 sudah mulai menanjak meskipun tidak terlalu curam. Mulai dari Pos 3 inilah nantinya para pendaki harus mempersiapkan stamina yang ekstra karena medan yang akan dilalui setelah pos ini lebih dominan menanjak. Jika Pos 1 berada di tengah-tengah hamparan hutan pinus, maka Pos 3 berada di tengah-tengah hamparan hutan cemara. Oleh sebab itu pos ini dinamakan sebagai Cemaran. Di Pos 3 para pendaki juga bisa mendirikan tenda karena daerah di sekitar pos ini cukup luas.
Tanjakan Penggik Cahyo
Jalur pendakian dari Pos 3 ke Pos 4 bisa dibilang sebagai jalur yang paling berat dibandingkan dengan keseluruhan medan jalur pendakian Gunung Lawu via Singolangu. Diantara pos ini nantinya para pendaki akan melewati Tanjakan Penggik Cahyo. Dibutuhkan stamina dan tekad yang kuat untuk melewati jalur ini. Hal ini disebabkan karena medan yang dihadapi oleh para pendaki adalah medan yang menanjak dengan kemiringan hampir 45 derajat sepanjang lebih kurang 500 meter. Di sepanjang jalur ini para pendaki akan melihat berbagai macam plang pemberitahuan untuk memperingati bagaimana beratnya medan yang akan dilalui, seperti “Gunakan gigi satu” dan “Apabila ragu-ragu lebih baik kembali”. Oleh karena itu jalur ini dinamakan sebagai Tanjakan Penggik Cahyo, karena biasanya wajah para pendaki akan terlihat pucat saking beratnya medan yang dilalui ketika melewati jalur ini.
Versi lain mengatakan bahwa jalur ini dinamakan Tanjakan Penggik Cahyo karena pada saat Prabu Brawijaya V melewati jalur ini, hari sudah berganti dari siang ke malam, sehingga nama Cahyo berdasarkan sinar matahari yang mulai berganti dengan munculnya sinar rembulan. Meskipun jalur ini menguras banyak tenaga, terdapat beberapa titik area camp bagi para pendaki yang ingin beristirahat sebelum kembali meneruskan perjalanan.
Kobongan Menyan
Kobongan Menyan terletak di jalur Tanjakan Penggik Cahyo. Di sana para pendaki bisa melihat sebuah pohon besar yang tumbuh di atas batu. Konon dulunya apabila seorang spiritual yang mendaki Gunung Lawu dan melewati daerah tersebut, harus meninggalkan sesuatu dari barang bawaannya. Oleh karena itu biasanya para spiritual tersebut akan membawa dan membakar menyan di daerah tersebut karena tidak terlalu berat dan susah untuk dibawa. Berdasarkan hal itulah tempat tersebut dinamakan sebagai Kobongan Menyan.
Meskipun demikian, pada saat ini para pendaki tidak perlu ragu dan membawa sesuatu juga untuk ditinggalkan di daerah tersebut, karena cerita yang berkembang pada saat ini hanya tinggal cerita dan menjadi pengetahuan bagi para pendaki yang melewati tempat tersebut.
Pos 4 (Taman Edelweis)
Pos 4 Taman Edelweis berada setelah para pendaki menempuh perjalan lebih kurang 2 jam perjalanan dari Pos 3 Cemaran. Pos ini dinamakan Taman Edelweis karena di sepanjang jalur menjelang pos ini para pendaki bisa melihat hamparan luas edelweiss di kiri dan kanan jalur. Posisi pos ini sudah berada di ketinggian yang cukup tinggi, sehingga pemandangan alam yang disuguhkan kepada para pendaki sangat bagus. Mulai dari pos ini vegetasi pohon sudah tidak terlalu banyak. Selain itu di pos ini para pendaki juga bisa medirikan tenda, meskipun tidak terdapat banyak ruang karena daerah di sekitar Pos 4 tidak seluas pos-pos sebelumnya.
Bukit Family
Bukit Family berada diantara Pos 4 Taman Edelweis dan Pos 5 Cokro Paningalan. Sebelum mencapai bukit ini para pendaki terlebih dahulu melewati Bukit Ilalang. Wilayah di sekitaran Bukit Family sangat luat, sehingga cocok untuk mendirikan tenda di daerah tersebut. Penamaan Bukit Family berdasarkan sebuah pohon besar yang terdapat di bukit tersebut. Di sekitaran pohon tersebut terdapat pohon-pohon kecil di sekitarnya. Hal inilah yang mendasari penamaan bukit ini, karena pohon besar tersebut diibaratkan sebagai orang tua yang mengayomi pohon-pohon kecil di sekitarnya.
Pos 5 (Cokro Paningalan)
Pos 5 Cokro Paningalan berada setelah para pendaki menempuh perjalanan lebih kurang 45 menit dari Pos 4 Taman Edelweis. Pos ini dinamakan sebagai Cokro Paningalan karena dari pos ini para pendaki bisa melihat sejauh mata memandang bagaimana indahnya ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Bisa dibilang bahwa pemandangan yang terdapat di pos ini merupakan pemandangan yang paling bagus dibandingkan dengan pos-pos sebelumnya. Jalur dari Pos 4 ke pos ini menguras cukup banyak tenaga karena secara keseluruhan medan yang dilalui oleh para pendaki menanjak. Di pos ini para pendaki bisa mendirikan tenda, meskipun tidak terdapat terlalu banyak ruang untuk area camp.
Sendang Drajat
Sendang Drajat berada setelah para pendaki menempuh perjalanan lebih kurang 1 jam dari Pos 5 Cokro Paningalan. Di Sendang Drajat para pendaki bisa kembali mengisi persediaan air yang bisa diambil dari sumber mata air tersebut. Bagi para pendaki yang butuh asupan makanan bisa langsung singgah ke Warung Mbok To yang berada tepat di sebelah Sendang Drajat. Para pendaki bisa menikmati bermacam jenis makanan dan minuman selagi menikmati keindahan alam. Selain itu harga makanan dan minumkan yang ditawarkan cukup murah dan ramah di kantong para pendaki.
Hargo Dalem
Hargo Dalem merupakan salah satu puncak dari Gunung Lawu. Hargo Dalem berada setelah pendaki menempuh perjalan lebih kurang 30 menit dari Sendang Drajat. Para pendaki nantinya akan menemukan sebuah petilasan lain di puncak Hargo Dalem. Satu hal yang tidak boleh tertinggal jika sampai di Hargo Dalem adalah para pendaki wajib untuk mampir di Warung Mbok Yem, warung tertinggi di Indonesia. Para pendaki bisa menikmati makanan dan minuman yang ada dengan harga yang murah dan ramah.
Hargo Dumilah
Hargo Dumilah merupakan puncak tertinggi Gunung Lawu. Puncak Hargo Dumilah berada setelah para pendaki menempuh perjalan lebih kurang 30 menit dari Sendang Drajat. Di puncak Hargo Dumiah nantinya terdaat sebuah tugu yang menandakan puncak tersebut merupakan puncak tertinggi Gunung Lawu. Semua rasa lelah para pendaki akan terbayarkan apabila sudah mencapai puncak ini. Berada di ketinggian 3265 mdpl, para pendaki akan disuguhi pemandangan alam yang sangat indah dan tidak bisa ditemukan di gunung-gunung lainnya.
Tim KKN-PPM UGM 2019 dan Hanom Hancalla